Manisnya Bisnis Pasir Laut

  • Bagikan

Oleh: Muhammad Qustam Sahibuddin*

WartaTani.co – Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/ 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut hampir mirip dengan kebijakan ekspor BBL (Benih Bening Lobster) diera Men-KP Edhy Prabowo. Yaitu terkait sumber daya alam yang memiliki peran penting, baik dari segi ekologi, sosial dan ekonomi. Ada pertanyaan yang mengelitik, kenapa pasir laut dalam PP No. 26/2023 masuk terminologi sedimen yang cenderung berdampak negatif terhadap lingkungan sehingga harus diekploitasi dengan alasan untuk rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut (Pasal 2).

Sedimen menurut Bent et al. (2001) merupakan partikel hasil pelapukan batuan, material biologi, endapan kimia, debu, material sisa tumbuham dan daun. Dalam kasus ini, proses pengendapannya terjadi karena dua hal, pertama karena arus air (sungai) dikenal dengan sedimentasi aquatis seperti delta, kedua karena dinamika oseanografi dikenal dengan sedimentasi laut (marine) seperti gosong pasir, nehrung dan spit. Dengan demikian pendekatan pengelolaan sedimentasi aquatis dan sedimentasi laut tidaklah sama, karena proses terjadinya saja sudah sangat berbeda. Sehingga PP No. 26/2023 tidak memiliki arah yang jelas karena tidak disebutkan secara detail pengelolaan sedimentasi di laut itu yang mana? Akibat arus air dari sungai atau karena dinamika oseanografi. Menjadi tanda tanya besar apa urgensi diterbitkannya PP No.26/2023 terkait Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut menjelang pesta demokrasi tahun 2024 nanti.

Bisnis Pasir Laut

Pasir laut secara ekologi berperan penting, sehingga membutuhkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Pertama, pasir laut sangat berkaitan dengan sumberdaya lain, seperti pantai, mangrove, padang lamun, terumbu karang, perikanan hingga kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir (Kusumastanto, 2003). Kedua, pasir laut merupakan sumberdaya yang tidak terbarukan, sehingga jika diekploitasi terus menerus tentunya akan memberikan dampak kerugian yang sangat besar dikemudian hari. Namun PP No. 26/2023 hanya fokus kepada nilai ekonominya semata. Hal tersebut terlihat jelas sebelum diterbitkannya PP No. 26/2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) No. 82/2021 terkait harga patokan pasir laut sebesar Rp 188 ribu/meter kubik (harga dalam negeri) dan Rp 228 ribu/meter kubik untuk ekspor. Sejalan dengan hal tersebut adanya permintaan dari Singapura terkait kebutuhan pasir laut untuk reklamasi hingga tahun 2030 sebesar 4 milyar meter kubik (tempo.co, 06/06/2023). Sehingga jika dikonversi maka nilai ekspor pasir laut mencapi Rp 912 triliyun. Belum lagi kebutuhan pasir laut dalam negeri mencapai 2 milyar meter kubik (Dirjen PRL KKP, 2020) atau senilai Rp 376 triliyun.

Itulah kenapa keran ekspor pasir laut dibuka kembali setelah sempat vakum selama dua dekade. Ini menandakan pengendalian pengusahaan pasir laut tidak berjalan maksimal karena penegakan kebijakan yang lemah. Ditambah adanya hukum supply dan demand terkait pengusahaan sumberdaya (Kusumastanto, 2003). Environmental Reporting Collective (ERC) mengemukakan bahwa jaringan mafia terlibat dalam pengelolaan bisnis pasir laut benilai miliaran dollar diseluruh dunia (mediaindonesia.com,02/06/2023). Dengan demikian urgensi penerbitan PP No.26/2023 sangat kental beraroma kepentingan bisnis semata.

Dampak Negatif Eksploitasi Pasir Laut

PP No. No.26/2023 secara substansi sangat jauh dari dukungan naskah akademis, hal tersebut dapat dilihat dari isi PP, hanya fokus pada proses bagaimana melakukan eksploitasi tanpa menghiraukan dampak negatif yang ditimbulkan. Kebijakan yang diterbitkan pemerintah tanpa dilandasi naskah akademis hanya menghasilkan angin surga semata. Kajian PKSPL-IPB (Kusumastanto, 2003) menjelaskan, setiap ekploitasi pasir laut ditingkatkan sebesar 10 kali lipat, maka dampak kerusakan terhadap sumberdaya lain akan meningkat juga sebesar 50 %. Kerusakan yang ditimbulkan akibat ekploitasi pasir laut akan menimbulkan biaya yang harus dikeluarkan sebagai upaya perbaikan ekosistem lain yangt terdampak.

Apakah pemerintah tidak berkaca dari pengalaman ekspor pasir laut Kep. Riau ke Singapura? Kajian Ansori (2007) menjelaskan, dampak ekspor pasir laut ke Singapura adalah Indonesia dirugikan baik secara ekonomi maupun secara keamanan negara, kerusakan lingkungan laut wilayah Kep. Riau dan terganggunya pelayaran Taut. Data menyebutkan, saat itu Indonesia mengalami kerugian mencapai Rp 6,14 miliar/hari akibat adanya kegiatan ekspor ilegal, sehingga dalam satu tahun mencapai Rp 2,24 triliun (Kusumastanto, 2003). Kedua, nelayan Pulau Karimun-Kep. Riau kehilangan setengah pendapatannya akibat aktivitas penambangan pasir laut, karena rusaknya daerah fishing ground (Kusumastanto, 2003). Ketiga, penurunan kualitas air laut karena peningkatan TSS (Total Suspended Solid) di kolom perairan, sehingga kekeurahan (Turbidity) ikut meningkat, akibatnya mengurangi penetrasi cahaya ke dalam badan air sehingga terganggunya aktivitas fotosintesis yang berdampak terhadap penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air. Sehingga kesehatan ekosistem terumbu karang maupun padang lamun menjadi terganggu dan rusak. Akibatnya populasi ikan menurun dan rusaknya daerah pemijahan ikan.

Keempat, penambangan pasir laut menyebabkan dasar perairan menjadi curam dan dalam, sehingga terjangan energi gelombang laut ke pesisir pantai semakin tinggi dan kuat. Kelima, ERC menjelaskan penambangan pasir laut di Indonesia, Kamboja, Kenya dan India berdampak terhadap kelompok rentan, seperti perempuan dan mengancam ketahanan pangan (mediaindonesia.com, 02/06/2023). Dimana aktivitas penambangan pasir laut di Pasar Seluma, Prov. Bengkulu mengancam ekosistem remis-kerang laut yang merupakan sumber pendapatan dan protein utama bagi masyarakat Adat Serawai (mediaindonesia.com,02/06/2023).

Penambangan pasir laut bersifat eksploitatif, sangat bertentang dengan semangat SDGs (Sustainable Development Goals) tujuan ke-14, yaitu ekosistem lautan (life below water). Salah satu target SDGs ke-14 adalah bagaimana mengelola serta memberikan perlindungan keapada ekosistem laut dan pesisir yang berkelanjutan guna menghindari terjadinya dampak buruk yang signifikan. Seperti memperkuat ketahanannya untuk mewujudkan lautan yang sehat dan produktif.

Pengelolaan pasir laut seharunsya bukan untuk kepentingan sesaat, bersifat eksploitatif dan sarat dengan aroma bisnis, namun bagaimana memanfaatkan pasir laut secara berkelanjutan, seperti pengembangan wisata bahari. Banyak contoh bagaimana sebuah negara dapat mengambil manfaat dari pengembangan wisata bahari, seperti Maldives yang 85 % pendapatan devisanya berasal dari kegiatan wisata bahari (Kusumastanto, 2003). Sehingga PP No. 26/2023 patut untuk dikaji ulang secara mendalam, karena sangat menyedihkan jika Indonesia hanya menjadi eksportir pasir laut yang tidak jauh berbeda dengan eksportir benih bening lobster (BBL).

*Peneliti PKSPL-LPPM IPB UNIVERSITY

  • Bagikan