Indonesia dan Marikultur yang Tertidur

  • Bagikan

Oleh: MUHAMMAD QUSTAM SAHIBUDDIN

WartaTani.co – Berbicara Indonesia berarti berbicara laut dan berbagai potensi sumberdaya yang terkandung di dalamnya, mulai potensi sumberdaya terbarukan hingga tak terbarukan. Laut sudah menjadi jati diri Bangsa Indonesia jauh sebelum kemerdekaan diraih pada 17 Agustus 1945. Dengan luas laut mencapai 6,4 juta km2, garis pantai terpanjang ke dua di dnuia (108.000 km) dan memiliki pulau sebanyak 17.504 pulau, menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (archipelagic state).

Tridoyo Kusumastanto (2018) menjelaskan, Indonesia memiliki potensi ekonomi di sektor kelautan sebesar US$ 171 milyar/tahun atau setara Rp. 2.394 Triliun yang terdiri dari perikanan, wilayah pesisir, bioteknologi, wisata bahari, pertambangan dan transportasi laut. Salah satu potensi yang dapat dikembangkan dimasa depan untuk menopang perekonomian nasional serta kebutuhan akan pangan dunia adalah perikanan budidaya khususnya budidaya laut (marikultur).
Indonesia sebagai negara yang 70 % terdiri dari laut memiliki potensi lahan perikanan budidaya sebesar 17,91 ha, dimana 12,12 juta ha (67,7 %) merupakan lahan budidaya laut (marikultur) yang pemanfaatannya baru 2,7 % dari total potensi.

Akibatnya produksi marikultur Indonesia baru 16 persen (9,4 juta ton) saja dari total potensi, yaitu 100 juta ton/tahun (Rokhmin Dahuri, 2016). Berbagai permasalahan menjadi pemicu marikultur Indonesia tertinggal jauh dari Norwegia yang hanya memiliki luas laut 1,383 juta km² (21,61 persen dari total luas laut Indonesia), namun menjadi negara digdaya di bidang marikultur dengan komoditas ikan salmonnya yang dikonsumsi orang di berbagai belahan dunia setiap hari sebanyak 14 juta sajian makanan ikan salmon.

Potret Marikultur Indonesia
Marikultur Indonesia saat ini masih jauh dari kata memuaskan bisa dibilang menyedihkan. Hal tersebut dikarenakan Pemerintah Indonesia belum memandang laut (marikultur) sebagai tujuan utama yang harus diperjuangkan, diurus dengan baik, dibangun serta dikuasai guna menciptakan kesejahteraan.

Sehingga peran pemerintah hanya sebatas wacana yang tidak terealisasi secara serius. Berbagai kebijakan dibuat, namun selalu berubah ketika pergantian kepemimpinan terjadi. Hasilnya hanya berupa data potensi yang setiap kali dibanggakan serta serapan anggaran yang dijadikan patokan keberhasilan semata.

Selanjutnya Pemerintah Indonesia saat ini belum mampu mensinergikan antara peran pemerintah selaku pembuat kebijakan dengan akademisi yang memiliki pengetahuan dan pelaku usaha sebagai pemilik modal dalam membangun marikultur Indonesia. Selaku pembuat kebijakan, pemerintah memiliki peran penting agar arah pembangunan marikultur Indonesia mempunyai panduan yang jelas dan berdasarkan hukum yang berlaku. Kebijakan yang dibuat tentunya harus memiliki landasan akademik kuat agar pengembangan marikultur nantinya mampu berjalan efektif, efisien dan berkelanjutan serta mensejahterakan.

Marikultur akan selalu menjadi raksasa yang tertidur jika tidak ada aktivitas investasi yang ditananamkan oleh pelaku usaha di dalam negeri. Sehingga pelaku usaha merupakan salah satu aktor penting untuk menggerakkan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Jadi kolaborasi antara industri, akademisi, dan pemerintah adalah kunci sukses keberhasilan untuk membangunkan raksasa ekonomi yang tertidur tersebut, jika tidak maka raksasa ekonomi tersebut akan koma dan lambat laun mati.

Disamping masalah kebijakan dan kolaborasi, sarana dan prasarana pendukung marikultur juga masih sangat minim, boleh dikatakan belum siap untuk bersaing dengan industri marikultur negara lain. Seperti teknologi wadah berupa KJA (keramba jaring apung) untuk kegiatan budidaya, sebagian besar masih menggunakan teknologi tradisional yang terbuat dari bambu dan kayu, dan masih sedikit menggunakan yang berbahan HDPE (High Density Polyethylene).

Berikutnya harga pakan ikan yang mahal. Disamping kebutuhan pakan, akses terhadap benih berkualitas dengan harga yang terjangkau masih sulit diperoleh masyarakat. Ambil contoh, masyarakat Kepulauan Seribu saja yang sangat dekat dengan pusat pemerintahan Indoensia hingga saat ini masih menggantungkan kebutuhan benih ikan kerapu dari hatchery di Bali maupun di Lampung dan Situbundo. Hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan hatchery di Pulau Tidung menyediakan/memproduksi benih ikan kerapu secara continue baik dari segi jumlah, waktu maupun kualitas. Terakhirn, rusak atau minimnya sarana infrastruktur transportasi wilayah yang berdampak terhadap tingginya biaya produksi.
Membangun Marikultur Indonesia yang Berdaya Saing

Pengembangan marikultur Indoensia sebagai sebuah industri yang kuat dan mesejahterakan harus dilakukan dengan dukungan kebijakan pemerintah, investasi dari pelaku usaha dan akademisi (perguruan tinggi). Hal tersebutlah yang dilakukan oleh Norwegia mulai tahun 1970 (50 tahun yang lalu) hingga sekarang. Dimana Pemerintah Norwegia memaksimalkan peran pemerintahnya, akademisi dan pelaku usaha marikultur dalam membangun industri marikultur yang kuat dan berkelanjutan serta mensejahterakan (Norwegian Seafood Council, 2020). Penulis berpandangan ada beberapa langkah penting yang harus dieksekusi oleh Pemerintah Indonesia utnuk membangun marikultur Indonesia yang berdaya saing.

Pertama, pengembangan inovasi berbasis iptek guna membangun marikultur Indonesia agar berdaya saing harus memperhatikan dari segi kualitas, kuantitas (jumlah), food safety dan bisnis marikultur yang berkelanjutan. Kualitas sangat dibutuhkan produk marikutur agar dapat bersaing dengan produk negara lain di pasar dunia. Tanpa adanya jaminan kualitas sudah dipastikan produk marikultur Indonesia akan kalah. Contoh kualitas produk ikan salmon Norwegia mampu berdaya bersaing di pasar dunia saat ini dan mampu merebut peluang pasar yang prestisius. Pada tahun 1986 Jepang dengan sendirinya mengakui kualitas ikan salmon Norwegia dengan melahirkan “Project Japan” yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan Jepang akan ikan salmon sebagai bahan sushi (Norwegian Seafood Council, 2020).

Selanjutnya industri marikultur tentunya berbicara kuantitas (jumlah) produksi yang dihasilkan. Tanpa kuantitas produksi yang meningkat dari tahun ke tahun, industri marikultur Indonesia tidak akan dapat memaksimalkan potensi yang dimilikinya, yaitu sebesar 100 juta ton/tahun. Ketika industri marikutur Indonesia mampu memaksimalkan potensi marikultur yang dimilikinya sudah dipastikan dapat bersaing di pasar dunia sebagai penyuplai pangan seiring pertambahan jumlah penduduk dunia dimasa depan.

Populasi penduduk dunia pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 9 milyar (Norwegian Seafood Federation, 2011) tentunya kebutuhan akan pangan yang aman (food safety) bergizi, sehat dan mencerdaskan akan meningkat. Sehingga produk marikultur Indonesia dituntut mampu menghadirkan pangan yang sehat, bergizi dan memiliki lisensi keamanan pangan (food safety) yang diakui dunia. Karena isu food safety menjadi krusial untuk diperhatikan, agar negara luar dapat percaya dan yakin bahwa produk marikultur yang mereka konsumsi dari Indonesia aman, bergizi, baik untuk kesehatan dan tidak berdampak negatif terhadap keturunan mereka, khususnya wanita yang sedang mengandung. Hal tersebut sejalan dengan rekomendasi dari FAO dan WHO bahwa daging ikan merupakan makanan yang tepat untuk kesehatan, kecerdasan dan keturunan (Norwegian Seafood Federation, 2011).

Bisnis marikultur yang berkelanjutan menjadi sistem yang sudah harus dipersiapkan oleh Pemerintah Indonesia saat ini, jangan ditunda lagi. Pemerintah Indonesia sudah harus mampu menyediakan areal potensial untuk kegiatan marikultur. Tentunya hal tersebut dapat terwujud jika pemerintah telah memiliki rencana tata ruang terkait areal marikultur Indonesia yang seluas 12,12 juta ha. Jika belum memiliki, maka maruikultur Indonesia akan selalu menjadi raksasa ekonomi yang tertidur pulas. Rencana tata ruang memiliki peran penting agar kegiatan marikultur dapat berlangsung, sepanjang tahun, kerusakan lingkungan dapat diminimalisir serta menghidari konflik pemanfaatan ruang yang dapat terjadi dikemudian hari. Kegiatan marikultur sebagai industri tentu bukan hanya menggenjot aspek produksi dan meninggalkan aspek lingkungan. Karena setiap aktivitas marikultur untuk memproduksi pangan dari laut pasti memiliki dampak terhadap lingkungan sekitarnya, seperti kerusakan keanekaragaman hayati (biodiversity), konsumsi sumber daya yang tidak terbarukan (BBM), maupun sumber daya terbarukan (bahan baku pakan). Oleh karena itu pengembangan marikultur di Indonesia haruslah berwawasan lingkungan yang berkelanjutan sesuai dengan arahan PBB pada tahun 1987 bahwa keberlanjutan diartikan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”. Sehingga kebijakan pengembangan marikultur Indonesia harus dibagi ke dalam tiga aspek, yaitu aspek sosial, aspek finansial dan aspek lingkungan. Fokus disini adalah bagaimana kebijakan pemerintah mampu membuat aspek lingkungan tetap terjaga dari kerusakan melalui kekuatan aspek finansial. Sehingga dengan sendirinya marikultur Indonesia dapat berkelanjutan serta menghadirkan kesejahteraan dan keuntungan bagi pelaku usaha, masyarakat dan negara.

Kedua, Pemerintah Indoensia harus dapat mengkolaborasikan segala bentuk kepentingan stakeholder yang terdiri dari kementerian terkait, akademisi (perguruan tinggi), industri dan masyarakat dalam satu tujuan yang sama (visi) dan dituangkan ke dalam kerangka kerja yang berkelanjutan dengan menghilangkan egos sentris masing-masing. Artinya membangun marikultur tidak hanya untuk 5 atau 10 tahun mendatang, namun untuk seterusnya sampai kiamat datang. Hal tersebut dimaksudkan agar marikultur Indonesia dapat bangun dengan wajah cerah dan mampu memberikan kontibusi ekonomi bagi negara, daerah dan masyarakat. Sehingga jangan sampai pergantian tampuk kepemimpinan yang terjadi setiap 5 tahun sekali, maka rencana pengembangan marikultur Indonesia juga ikut berganti lagi. Kalo itu yang terjadi, sama saja pemerintah hanya berwacana terus dan menebar angin surga terkait potensi marikultur Indonesia berupa angka-angka fantastis.

Ketiga, Disamping memiliki potensi sumberdaya alam di bidang marikultur, Indonesia juga memiliki potensi sumber daya manusia (SDM) yang dapat dimaksimalkan guna mendukung kegiatan marikultur sebagai sebuah industri besar dimasa depan. Namun kenyataannya SDM marikultur Indonesia saat ini sangat tertinggal jauh dengan negara lain, dimana sebagian besar masih menggunakan teknologi sangat tradisional. Hal ini sangat jauh berbeda dengan SDM di Norwegia yang pada tahun 2017 sudah mengembangkan teknologi yang diberi nama “Ocean Farm 1” dimana teknologi yang diterapkan dapat menampung ikan salmon hingga 1,5 juta ekor serta dioperasikan dari jarak jauh dengan menggunakan sensor dan sistem digital yang dapat memantau dan mengendalikan kesehatan ikan serta lingkungan sekitarnya (Norwegian Seafood Council, 2020). Sehingga tugas berat menanti pemerintah, yaitu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang handal, berkualitas serta mampu mengerti dalam menerapkan dan mengoperasikan teknologi marikultur.

Keempat, peningkatan sarana dan prasaranan serta infrastruktur pendukung kegiatan marikultur menjadi pekerjaan rumah berikutnya yang harus diselesaikan saat ini juga. Pertama wadah budidaya berupa keraba jaring apung (KJA), saat ini kebanyakan pembudidaya di Indonesia masih menggunakan KJA dari bahan kayu ataupun bambu dan masih sedikit menggunakan bahan HDPE. Hal tersebut dikarenakan harga KJA HDPE terbilang masih sangat mahal sekali (1 unit KJA yang terdiri 4 lubang senilai Rp. 100 juta). Tentu pemerintah harus mampu menjalin kerjasama dengan pengusaha agar KJA HDPE dapat diakses masyarakat dengan harga yang lebih terjangkau. Kedua pakan ikan terbilang masih mahal sekali. Mahalnya pakan ikan dikarenakan bahan baku pakan ikan 90 persen masih menggunakan bahan baku impor. Sehingga pemerintah harus dapat mengembangkan inovasi pembuatan pakan ikan yang berkualitas di dalam negeri agar harga pakan ikan dapat ditekan. Ketiga, infrastruktur wilayah/lokasi pengembangan marikultur harus menjadi perhatian pemerintah. Karena jika infrastruktur wilayah tidak mendukung seperti buruknya kondisi dan kualitas jalan, jembatan dan pelabuhan tentu berdampak terhadap biaya input produksi, seperti biaya pakan, benih dan BBM, akan menjadi mahal. Disamping itu infrastruktur wilayah yang buruk juga akan berdampak langsung terhadap biaya distribusi produk marikultur, yang berakibat harga produk menjadi mahal. Dari segi bisnis, tingginya biaya produksi dan harga produk pada gilirannya akan menyebabkan daya saing usaha marikultur sangat rendah jika berhadapan dengan usaha marikultur yang lebih efisien.

Kelima, pengembangan hatchery ikan laut yang terintegrasi. Sebelum membangun fasilitasi hatchery ikan laut, Pemerintah Indonesia terlebih dahulu menentukan wilayah-wilayah mana di Indonesia yang dapat dijadikan areal pengembangan marikultur dimasa depan. Tentu harus berdasarkan kajian akademik yang mendalam. Selanjutnya wilayah yang akan dijadikan pusat pengembangan marikultur harus sudah jelas terkait tata ruangnya agar tidak terjadi konflik dikemudian hari. Tahap berikutnya adalah komoditas apa yang akan dikembangkan dan dijadikan brand komdoitas marikultur Indonesia di pasar dunia. Contoh Norwegia mampu menjadikan salmon sebagai brand komoditas mereka, sehingga ketika orang berbicara salmon tentunya berbicara Norwegia. Baru tahap selanjutnya membangun fasilitas hatchery melalui pengembangan broodstock management, pemeliharaan larva ikan serta pengembangan vaksin ikan yang sesuai dengan standar food security yang telah ditetapkan, sehingga tidak membahayakan jika dikonsumsi. Sehingga dihasilkan benih ikan yang berkualitas, tahan penyakit, cepat dalam pertumbuhannya dan memiliki harga yang terjangkau oleh masyarakat.
Pada ahirnya pemerintah Indonesia sudah harus fokus mengurus lautnya dengan baik serta menjadikan laut (marikultur) sebagai tujuan utama bangsa ini yang harus dibangun dan dikelola dengan bijak mulai saat ini juga. Tentunya pemerintah dapat mulai fokus dan berkomitmen kuat pada langkah-langkah yang telah diuraikan di atas, agar marikultur sebagai raksasa ekonomi yang sedang tertidur dapat dibangunkan dan siap untuk berlari kencang memberikan kontribusi ekonomi nyata bagi Bangsa Indonesia berupa keuntungan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dan pelaku usaha. Dengan demikian bangsa besar ini sudah dapat disebut bangsa maritim, karena sudah mampu menguasai, mengelola dan mendapatkan kemakmuran dari laut (Tridoyo Kusumastanto, 2018).

*Peneliti PKSPL-LPPM IPB UNIVERSITY

  • Bagikan