WartaTani.co – Peneliti asal Rutgers University berhasil mengungkap Peradaban Mesopotamia kuno yang menyimpan banyak temuan yang berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan manusia.
Para peneliti telah menemukan bukti definitif paling awal dari broomcorn millet (Panium miliaceum) atau tanaman jawawut, yakni serealia berbiji kecil. Temuan yang diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports tersebut menyebut millet pernah ditanam di Irak kuno selama periode awal.
“Secara keseluruhan, kehadiran millet di Irak kuno selama periode waktu awal ini menantang narasi yang diterima dari pembangunan pertanian di wilayah tersebut,” kata Elise Laugier, seorang arkeolog lingkungan dan postdoctoral National Science Foundation, rekan di School of Arts and Sciences di Rutgers University-New Brunswick, dilansir dari laman Rutgers University, Kamis (13/1/2022).
Laugier menjelaskan, broomcorn millet adalah tanaman musim panas yang luar biasa kuat, cepat tumbuh, dan memiliki banyak manfaat. Tanaman tersebut pertama kali dibudidayakan di Asia Timur.
Para peneliti menganalisis sisa-sisa tanaman mikroskopis (phytoliths) dari Khani Masi, situs pertengahan akhir milenium kedua SM (1500-1100 SM Tahun C atau Tahun Liturgi Gereja) di wilayah Kurdistan Irak.
Kehadiran tanaman Asia Timur ini di Irak kuno menyoroti sifat Eurasia yang saling berhubungan selama ini. Penemuan tanaman tersebut mengejutkan karena alasan lingkungan dan sejarah. Sampai sekarang, para peneliti berpikir bahwa millet tidak ditanam di Irak sampai pembangunan sistem irigasi kekaisaran milenium pertama SM.
Millet umumnya membutuhkan curah hujan musim panas untuk tumbuh, tetapi Asia Barat Daya memiliki iklim musim dingin basah dan musim panas kering. Selain itu, produksi pertanian hampir seluruhnya didasarkan pada tanaman yang ditanam selama musim dingin, seperti gandum dan jelai.
Para peneliti menjelaskan, pada kenyataannya tanaman dan makanan ditanam di bulan-bulan musim panas. Ini merupakan temuan baru dari sistem pangan pertanian kuno. Penelitian sebelumnya dimungkinkan sangat kurang menghargai kapasitas dan ketahanan masyarakat di ekosistem semi-kering.
Studi baru ini juga merupakan bagian dari penelitian arkeologi yang berkembang yang menunjukkan bahwa di masa lalu, inovasi pertanian adalah inisiatif lokal. Inovasi tersebut kemudian diadopsi sebagai bagian dari strategi diversifikasi lokal jauh sebelum digunakan dalam rezim intensifikasi pertanian kekaisaran hingga kemajuan pertanian saat ini.