WartaTani.co – Petani milenial sukses dengan omzet tinggi diraih Tata Jaenal Mustakim (23) yang sempat menimba ilmu dan mondok di Pondok Pesantren Miftahul Huda al Husna Sukarindik Indihiang Tasikmalaya selama 4 tahun.
Sekaligus melanjutkan sekolah formalnya ke SMA di kota santri tersebut.
Tamat SMA tahun 2016, anak ketiga dari 4 bersaudara tersebut memilih tinggal kampung ke Pamipiran Dusun Sukamulya Rt 27 RW 11 Desa Hujungtiwu Panjalu Ciamis.
Memilih membantu kedua orangtuanya, pasangan suami-istri Amir Ahmad dan Ibu Eti. Bertani, mengolah suburnya tanah di kaki Gunung Cakrabuana tersebut.
Awalnya Tata membudidayakan berbagai jenis jeruk. Mulai dari jeruk lemon, jeruk prinon, red pamelo dan jeruk dekopon.
“Alhamdulillah di pesantren dulu tidak hanya belajar agama. Tetapi juga diajar bertani, bercocoktanam sebagai bekal hidup. Setelah kembali ke kampung ilmu-ilmu itu saya terapkan,” ujar Tata kepada Tribun di lereng bukit Pamipiran Hujungtiwu Panjalu Kamis (27/1) sore.
Setelah bebrapa tahun dipelihara, jeruk-jeruk masa kini itupun menghasilkan buah. Buahnya tidak hanya dijual ke pasar dan ke penampung. Tetapi juga ada yang diolah jadi sirup dan minuman segar dalam kemasan. Pembuatannya bekerja sama dengan SMKN (rumpun pertanian) Panjalu.
“Lumayan juga waktu ramai-ramai Covid tahun kemarin. Jus jeruk lemon dalam kemasannya laku keras. Kerja sama dengan SMK (Panjalu),” kataya.
Selain bercocok tanam jeruk, sayur mayur dan berbagai buah-buahan lainnya, Tata mengembangkan sayap. Dengan membudidayakan kaktus.
Tata sebenarnya sudah gemar menanam kaktus sejak tahun 2012, sejak ia masih duduk di SMP/MTs.
Namun setelah setelah tamat dari SMA, usai menjadi santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Husna Sukarindik Indihiang Tasikmalaya tersebut, Tata benar-benar serius bercocok tanam kaktus sebagai ladang usaha.
“Jeruk tetap jalan, tapi tanaman hias berupa kaktus juga dikembangkan. Di Ciamis budidaya tanaman hias kaktus kan masih jarang. Peluang usahanya terbuka luas,” kata Tata.
Benih Kaktus dari Korea
Awal menjadi petani kaktus, Tata sengaja mendatangkan kaktus dari Korea Selatan melalui petani tanaman hias di Lembang. Modalnya dari hasil berjualan jeruk lemon.
Kaktus F-1 (generasi pertama) asal Korea seharga Rp 3 juta dan sejumlah kaktus dari berbagai jenis dari Lembang jadi modal awal Tata menjadi petani kaktus. Juga ada sukulen dan sansivera (lidah mertua).
Green house seluas 4 x 6 meter persegi menjadi ladang awal sebagai petani kaktus. Plus modal berupa 800 pot kaktus lokal, serta 1 pot benih F-1 kaktus dari Korea serta 400 pot skulen.
Dari ratusan pot kaktus dan ratusan pos sukulen tersebut Tata menyulap kegemarannya menanam tanaman hias menjadi ladang bisnis.
Dengan sentuhan tangannya dari ratusan pot kaktus tersebut berkembang biak menjadi ribuan pot kaktus. Demikian juga dengan skulen.
Di luar dari yang sudah laku terjual selama 6 tahun menjadi petani kaktus tersebut, di green house di kesejukan bukit kaki Gunung Cakrabuana, Kamis (27/1) ada sekitar 5.000 pos kaktus dan sukulen siap jual.
Semuanya bernaung dalam green house yang lebih luas, dibangun tahun 2020 dengan ukuran 8 x 13 meter pengganti green house pertama yang ukurannya hanya 4 x 6 meter persegi.
Green house kaktus itu berada di samping masjid lantai 2 yang sudah dibangun sejak tahun 2016 namun belum kunjung selesai.
Menurut Tata ada 36 jenis kaktus dan sukulen yang tumbuh berkembang biak di dalam green housenya tersebut. Ada juga strum dan haurtia yang unik mirip belang-belang zebra. Haurtia yang langka dan mahal karena ada kelainan warna (karigata).
Tata memilih petani kaktus di pelosok kampung karena lahan luas (kalau disewa harganya masih murah), harga bahan-bahan juga murah seperti pasir, bambu, kotoran hewan dan sebagainya.
Beda halnya di kota, seperti di Lembang misalnya. Dengan biaya modal yang cukup rendah, bisa menjual kaktus dengan harga yang bersaing.
Bahan yang biasa digunakan Tata menjadi media tanam kaktus maupun sukulen seperti sekam bakar, kotoran dari kandang ayam pedaging, pasir cor atau pasir malang. “Saya tidak pakai tanah untuk media tanam, karena tanah gampang padat yang bisa mencekik akar sehingga pertumbuhan kaktus terhambat,” ujar Tata yang kini berstatus sebagai mahasiswa Faperta Unigal Ciamis.
Bercocok tanam kaktus katanya tidak terlalu sulit, tetapi butuh ketelaten dan kesabaran. Kaktus tak perlu sering disiram, penyiraman cukup 2 x dalam seminggu. Kendala utama adalah kelembaban yang membuat daun maupun batang kaktus cepat busuk akibat jamur dan kutu putih. Hama lainnya adalah ulat dan semut.
Setiap 3 bulan sekali dilakukan penukaran pot guna menyegarkan bagian akar kaktus.
Kalau sudah ada kaktus yang terserang kutu putih segera singkirkan sebelum menular ke pot lainnya. Kemahiran memadukan batang kaktus bagian bawah dengan kaktus bagian atas untuk toping menjadi kunci kesuksesan sebagai petani kaktus. Beragam toping dengan keunikan bentuk maupun warna menjadi pembeda harga. Apalagi kalau kaktus sampai berbunga di bagian topingnya, harganya akan lebih mahal.
Bagi ibu rumah tangga yang punya anak kecil. Sukulen menjadi pilihan utama. Karena kaktus ada durinya, cukup berbahaya bagi anak-anak..
Dari green house tersebut, dengan dibantu kedua orangtuanya dan seorang adiknya, Tata menuai cuan.
Sekitar 75% kaktus dan sukulen hasil budidaya Tata dipasarkan oleh penampung di Lembang Bandung. Harganya beragam mulai dari Rp 5.000/pot sampai yang harganya Rp 150.000/pot.
Tata juga memasarkan kaktus secara online melalui IG, facebook maupun WA serta juga berjualan kaktus secara manual. Selain Lembang, pasar utama kaktus dari green house Tata adalah Blitar dan beberapa kota lain di Jatim. Juga Jakarta, Cirebon dan Ciamis sendiri.
Green house milik Tata, sering juga melayani permintaan weeding organizier (WO) kaktus untuk souvenir pada resepsi pernikahan.
“Alhamdulillah setiap bulan penghasilan dari kaktus bisa mencapai Rp 15 juta,” katanya.
Dari omzet Rp 15 juta per bulan tersebut, Tata mendapat keuntungan bersih sekitar Rp 7 juta sampai Rp 8 juta/bulan.
Suatu penghasilan yang cukup besar bagi seorang bujangan yang tinggal di pelosok desa nun jauh dari kebisingan kota. Penghasilan bersihnya setara dengan gaji pejabat eselon II.
Itu baru dari kaktus. Tata ternyata juga punya sumber penghasilan lain yakni budaya jeruk lemon dan berbagai jenis jeruk lainnya. Berikut peternakan sapi jenis limousin.
Dan bertani dengan lahan milik keluarga seluas 1,5 hektare. Termasuk menanam alpukat, sayur mayur maupun buah-buahan.
Menurut Tata, untuk punya penghasilan yang cukup sebenarnya tidak perlu mencari pekerjaan jauh ke kota. Cukup tinggal di desa dengan mengolah berbagai potensi yang ada.
Dengan penghasilan sebagai petani kaktus tersebut kini Tata mengemban tugas mulai bersama keluarganya. Berencana membangunan pondok pesantren di lahan keluarga seluas 1,5 hektare di Kampung Pamipiran Hujungtiwu tersebut. Namannya Pondok Pesantren Nurul Jannah al Hadi.
Cikal bakal pondok pesantren tersebut, sejak tahun 2016 lalu sudah mulai bangun sebuah masjid berlantai 2 di atas tebing dengan view yang indah.
Bangunan berlantai dua tersebut kini belum berbentuk masjid karena belum ada kubah dan menara. Dan juga belum berfungsi. Sebagian hasil dari bertani kaktus tersebut disisihkan untuk membangun masjid.
“Masjidnya masih setengah jadi belum bisa digunakan. Bertahap, tergantung modal yang ada. Rencananya disekitar masjid ini nanti akan dibangun kobong untuk santri. Sekarang ngajinya masih di masjid kampung,” ucap Tata.
Selain tengah menggarap pembangunan masjid yang belum kunjung selesai tersebut, Tata juga punya obsesi untuk membawa Kampung Pamipiran Hujungtiwu Panjalu tersebut sebagai kampung eko wisata.
Maklum di Kampung Pamipiran tersebut tersebut ada Situ Endut yang indah lengkap dengan cerita sejarahnya. Juga ada kampung adat Pamipiran yang memiliki hanya 17 rumah tak pernah bertambah dan berkurang.
Juga ada 30 hektare kebun alpukat yang tengah dikembangkan oleh seorang pengusaha dari Bogor. Ada 16 jenis alpukat yang sudah dan akan ditanam di Kampung Pamipiran tersebut, Berikut 2 hektare tanaman porang. Serta tanaman lainnya.
“Di sisi jalan desa ini, kiri kanan jalan ditanam berbagai jenis buah-buahan seperti jeruk dan alpukat sebagai potensi untuk mensejahterakan warga,” tambahnya.
Tata tengah merancang berbagai kesempatan kerja bagi warga terutama pemuda setempat lewat potensi yang ada di Kampung Pamipiran tersebut.
Green house kaktus milik Tata yang cukup jauh dari jalan raya Panjalu-Sukamantri – Majalengka tersebut juga sering dipakai sebagai lokasi praktek bagi siswa/siswi SMKN Panjalu (rumpun pertanian).
“Kadang saya juga diminta untuk ngajar praktek budidaya pertanian di SMKN Panjalu,” katanya.