WartaTani.co – Dampak perubahan iklim telah membawa kerugian di berbagai sektor, termasuk sektor pertanian. Beberapa faktor iklim yang berpengaruh terhadap budidaya hortikultura antara lain curah hujan, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara.
Dengan adanya informasi prakiraan iklim yang akurat, maka kemungkinan terjadinya gagal panen dapat dihindari. Caranya dengan menyesuaikan sistem budidaya atau manajemen pola tanam.
Dalam rangka mengantisipasi dampak perubahan iklim khususnya musim kemarau pada komoditas hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura melakukan langkah konkret dengan melaksanakan kegiatan Virtual Literacy GEDOR HORTI In Action.
Acara ini mendapat respon yang luar biasa dan diikuti oleh berbagai kalangan seperti ASN, peneliti, mahasiswa, petani/pelaku usaha dan penyuluh pertanian.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto menerangkan bahwa ada tiga strategi kebijakan pembangunan hortikultura terkait perubahan iklim, yaitu antisipasi, mitigasi, dan adaptasi.
Strategi antisipasi dengan mengadakan pengkajian terhadap perubahan iklim untuk meminimalkan dampak negatif. Lalu, mitigasi untuk mengurangi resiko terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca.
“Terakhir, adaptasi melalui penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif terhadap perubahan iklim,” ujar dia melalui keterangan tertulisnya, Minggu (12/7).
Anton- sapaan akrabnya- yang dikenal pula sebagai pakar lingkungan menambahkan bahwa langkah konkret yang dilakukan dalam rangka penangan dampak perubahan iklim, adalah melalui pengumpulan data dan informasi iklim dari UPTD BPTPH se-Indonesia. Ini sebagaimana yang sering disampaikan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Selanjutnya berkoordinasi dengan BMKG tentang prakiraan cuaca untuk 3 bulan ke depan dan antisipasi ketersediaan air hujan, menyusun Early Warning System (EWS) manajemen pola tanam ke dinas pertanian se-Indonesia.
“Kemudian berkordinasi dengan perguruan tinggi dan instansi terkait informasi daerah rawan kekeringan dan kebanjiran,” jelas dia.
Sementara Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf menyampaikan terkait kebijakan pusat untuk pengamanan produk hortikultura, melalui strategi adaptasi dan mitigasi dengan sasaran lokasi sentra hortikultura yang rawan terkena dampak perubahan iklim (kekeringan dan banjir). Adapun yang menjadi komponen-komponen kegiatan.
“Di antaranya adalah teknologi hemat air (irigasi tetes/sprinkler/kabut), teknologi panen air (embung, sumur dangkal, sumur dalam), dan penampungan air sementara (gorong-gorong beton),” beber dia.
Teknologi Hemat Air
Murtiningrum, narasumber dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada menyampaikan bahwa penerapan teknologi hemat air pada komoditas hortikultura sangat penting dilakukan. Ini mengingat aktivititas pertanian bergantung pada ketersediaan air sepanjang musim tanam.
“Petani dapat menerapkan teknologi irigasi tetes dan irigasi curah untuk antisipasi musim kemarau”, ungkapnya.
Senada dengan hal tersebut, Budi Kartiwa, narasumber dari Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Badan Litbang Pertanian menguraikan model pengelolaan air harus mendapat perhatian yang utama.
Produktivitas lahan dapat ditingkatkan dengan melakukan optimalisasi pengelolaan air, dengan memperhatikan empat faktor utama seperti potensi ketersediaan air, eksploitasi sumber daya air, distribusi air dari sumber menuju lahan, dan teknik penyiraman.
Pada kegiatan Virtual Literacy kali ini juga menghadirkan testimoni dari dua petani yang telah menerapkan teknologi hemat air. Sawabiana, ketua kelompok Tani Lestari Mulyo, Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul, D.I. Yogyakarta, menjelaskan bahwa kelompok binaannya mengelola seluas 120 ha dengan menggunakan teknologi irigasi sprinkler.
“Teknologi ini sudah kami gunakan kurang lebih 2 tahun. Biaya yang kami keluarkan untuk luasan 1.000 m2 sekitar Rp. 3,5 Juta. Keistimewaan dari irigasi sprinkler ini adalah hemat tenaga, bensin dan air”, ungkapnya.
Sawabiana menambahkan bahwa dengan luasan 2.000 meter persegi membutuhkan waktu sekitar 1 jam bila dibandingkan penyiraman dengan selang yang membutuhkan waktu setengah hari. Di samping itu pada lokasi pertanaman juga tidak ditemukan adanya ulat, karena lingkungan di sekitar pertanaman lebih lembab sehingga telur ulat gagal menetas.
Hal senada disampaikan Sumarna, ketua kelompok tani Pasir Makmur, Desa Srigading, Sanden, Bantul yang telah menerapkan teknologi irigasi kabut. Untuk luasan 1.000 meter persegi dibutuhkan waktu 1 jam dengan debit air yang dikeluarkan sekitar 300-400 liter per menitnya.
“Irigasi kabut juga dapat mengendalikan hama, terutama ulat daun yang menjadi momok petani”, pungkasnya.
Sumarna menambahkan, penyiraman di pagi hari dengan irigasi kabut juga bisa menghilangkan embun upas. Di sisi lain ada penghematan biaya, karena selang kabut dengan pemakaian dua musim tanam biaya modal sudah bisa kembali.
“Nilai usia dari selang kabut ini selama 5 tahun standar pabrik, namun sampai saat ini kami pakai sampai 6 tahun. Jadi penghematannya sangat banyak, dua musim tanam sudah balik modal, yang empat tahun selanjutnya sudah free,” pungkasnya.
[20.29, 12/7/2020] Imam I Pengejar Tenggat: Klinik PHT Koto Panjang Masifkan Gerakan Bertani Ramah Lingkungan
Koto Panjang – Provinsi Sumatera Barat selain dikenal sebagai lumbung pangan nasional juga dikenal sebagai pusatnya pertanian ramah lingkungan di Indonesia.
Pertanian ramah lingkungan merupakan penerapan budidaya dengan menggunakan tanaman sehat, penggunaan pupuk organik, sanitasi kebun, memanfaatkan kearifan lokal. Termasuk meminimalkan penggunaan pestisida kimia dalam mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) di pertanaman.
Pertanian ramah lingkungan sudah cukup lama diterapkan oleh petani di Sumatera Barat. Kemandirian petani dalam menerapkan pertanian ramah lingkungan tidak terlepas dari kuatnya kelembagaan kelompok tani dan kesadaran petani akan pentingnya kesehatan tanaman, manusia maupun lingkungan hidup.
Salah satu kelembagaan petani di Sumatera Barat yang aktif untuk memproduksi sarana pengendalian OPT ramah lingkungan adalah Klinik Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Koto Panjang. Lokasinya di Bancah Lareh, Kelurahan Koto Panjang, Kecamatan Padang Panjang Timur, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat.
Klinik PHT ini merupakan program Direktorat Jenderal Hortikultura dengan pendampingan dan pembinaan oleh Labarotorium Pengamatan Hama Penyakit dan Pengembangan Agens Hayati (LPHP dan PAH) Bukittingginggi, dan POPT wilayah kerja Padang Panjang.
Sejak tahun 2013, klinik PHT Koto Panjang giat mengembangkan pestisida nabati, Agensia Pengendali Hayati (APH) seperti Trichoderma sp., Beauveria bassiana, PGPR, dan membuat pupuk kompos.
“Dulunya kami bertani secara konvensional dengan mengandalkan pupuk dan pestisida kimia yang masif. Namun masalah OPT tetap tidak tertangani. Adanya klinik PHT sangat membantu petani untuk kembali ke pertanian ramah lingkungan, sekaligus menyelesaikan berbagai masalah serangan hama dan penyakit tanaman”, ungkap Edi Busti, ketua Klinik PHT.
Meski di usia yang tak lagi muda, Edi bersama anggota klinik selalu bersemangat untuk terus mengembangkan pertanian ramah lingkungan.
Upaya pengendalian OPT ramah lingkungan yang telah dilakukan antara lain aplikasi APH dan pestisida nabati, penanaman refugia untuk konservasi musuh alami, penggunaan petrogenol untuk lalat buah. “Ada juga pembungkusan buah dengan plastik,” tambah dia.
Nopensrimen, Koordinator POPT Kota Padang Panjang menambahkan kendati dalam kondisi pandemi COVID-19, klinik PHT tetap giat membuat bahan pengendali OPT ramah lingkungan. POPT setempat juga selalu aktif membina petani.
“Hal yang membanggakan juga bagi kami, Ibu Widiarti, salah seorang anggota klinik PHT meraih penghargaan petani teladan tingkat Kota Padang Panjang pada tahun 2019. Bahkan pada tahun 2020 beliau juga diusulkan sebagai nominasi petani teladan tingkat Provinsi Sumatera Barat”, ungkapnya.
Yasmiwati selaku Kepala LPHP dan PAH Bukittinggi menerangkan bahwa LPHP dan POPT memegang peranan penting dalam mendukung kegiatan klinik PHT.
LPHP dan PAH selain berkontribusi dalam pembinaan layanan klinik dan pengembangan sarana pengendalian OPT ramah lingkungan, juga mengembangkan starter/isolat APH yang akan diperbanyak oleh klinik PHT.
“Tujuannya agar kualitas APH tetap terjaga dan memenuhi standar”, pungkasnya.
Pada kesempatan terpisah, Prihasto Setyanto, Direktur Jenderal Hortikultura menjelaskan bahwa pengembangan pertanian ramah lingkungan melalui peran aktif klinik PHT adalah salah satu dari upaya Gerakan Mendorong Produksi, Meningkatkan Daya Saing, dan Ramah Lingkungan Hortikultura (GEDOR HORTI).
“Ini sebagaimana yang sering disampaikan Bapak Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL),” beber Prihasto.
Sri Wijayanti Yusuf, Direktur Perlindungan Hortikultura ikut mengapresiasi eksistensi klinik PHT Koto Panjang.
Menurut Sri, mereka mampu mengembangkan produk pengendali OPT ramah lingkungan secara mandiri.
“Jangan pernah berhenti dalam inovasi perbanyakan APH! Teruslah berbagi informasi dan memprovokasi petani lainnya untuk beralih ke pertanian ramah lingkungan”, ungkapnya dengan semangat.