WartaTani.co – Jumlah tenaga penyuluh pertanian yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) masih jauh dari kata cukup. Idealnya, seorang penyuluh pertanian ASN memegang ruang lingkup kerja satu desa. Karena itulah, Kementerian Pertanian (Kementan) kerap menggaungkan jargon ideal berbunyi Satu Penyuluh Satu Desa.
“Tapi, faktanya saat ini di seluruh provinsi itu kurang. Rasio penyuluh dan desa kurang dari satu. Artinya, satu penyuluh ada yang dua desa bahkan tiga sampai lima desa,” kata Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian (Kementan) Dedi Nursyamsi saat berdialog melalui video conference dengan penyuluh dan petani di BPP Seputih Raman, Lampung Tengah, Kamis (5/3).
Dedi merespons pertanyaan Koordinator Penyuluh Pertanian Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah Suryadi Sriharyana. Menurut Suryadi, dengan wilayah kerja sebanyak 14 kampung yang meliputi 197 kelompok tani (poktan) dan 21Kelompok Wanita Tani (KWT), Seputih Raman sangat kekurangan tenaga penyuluh dan tenaga Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT).
“Paling tidak di sini butuh tambahan 10 orang penyuluh dan satu POPT,” kata Suryadi.
Dedi melanjutkan, kondisi jumlah penyuluh yang ideal pernah ditutupi dengan cara merekrut penyuluh honorer atau dikenal dengan istilah Tenaga Harian Lepas dan Tenaga Bantuan Penyuluh Pertanian (THL-TBPP). Namun, seiring peraturan kepegawaian yang ada, THL dan TBPP kini tidak boleh lagi diadakan. “Jadi, honorer pun sudah berhenti. Merekrut penyuluh melalui honorer juga sulit,” ujar Dedi.
Sebenarnya, kata Dedi, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sudah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo yang berisi permohonan pengadaan ASN penyuluh sebanyak 6.000 orang per tahun. Namun, sampai saat ini permohonan tersebut masih diproses Istana.
Tidak mau terus menunggu jawaban menggembirakan yang diharapkan datang dari Presiden Jokowi, BPPSDMP mengatasi krisis penyuluh dengan cara mendorong terciptanya para penyuluh swadaya. Penyuluh swadaya adalah penyuluh yang benar-benar tidak tergantung APBN.
“Siapa itu? Ya, sebetulnya mereka adalah petani yang sudah maju. Petani yang sudah maju, pintar, menonjol, kita dorong menjadi penyuluh swadaya,” ujar Dedi.
Selain tidak membebani keuangan APBN, keberadaan penyuluh swadaya juga memiliki keuntungan tersendiri. Lantaran mereka sejatinya adalah petani, penerimaan para petani lainnya pun lebih mudah dan cepat. “Petani dengan petani itu kan dekat. Jadi, kalau mereka sendiri yang memberikan penyuluhan atau memberikan saran kepada temannya itu lebih cepat dibandingkan penyuluh kepada petani. Di saat yang sama, namanya juga petani, dia tidak butuh APBN, tidak butuh honor.”
Kendati demikian, Dedi menegaskan, pemerintah tentu saja tetap memberikan perhatian kepada para petani swadaya berupa sedikit insentif dan tunjangan operasional. Insentif dan tunjangan operasional diberikan kala mereka memberikan penyuluhan atau pelatihan pada acara-acara yang dihelar oleh Kementan. “Insentif tetap ada, tapi tidak terlalu besar. Memang biasanya penyuluh swadaya tidak mengharapkan itu, tidak mengharapkan insentif dari pemerintah.”
Dedi pun memberikan apresiasi yang tinggi kepada para penyuluh swadaya yang dinilainya sudah sangat luar biasa dengan rajin bergerak meskipun tidak diberi insentif. Mereka tetap bekerja untuk memberikan penyuluhan kepada teman-temannya sendiri dalam rangka meningkatkan produktivitas, memperbaiki kualitas, dan menjaga kontinuitas produk yang ditanamnya.
“Apalagi, sekarang sudah banyak petani-petani muda, petani milenial yang maju dan sukses mengembangkan usaha pertaniannya. Mereka inilah yang kita dorong menjadi penyuluh swadaya sekaligus menjadi agen untuk memajukan pertanian nasional yang lebih modern,” kata Dedi.