Wartatani.co – Kawasan hutan di Indonesia Timur harus dijaga dan dikelola secara bijak. Sebab, banyak potensi besar hutan di tanah Papua dan Maluku sebagai garda terakhir hutan di Indonesia dan bahkan dunia.
Seperti di wilayah hutan Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara. Total tutupan hutan di ke-empat provinsi ini seluas 38.660.805, 42 hektare atau 44 persen dari total tutupan hutan di Indonesia seluas 88.458.514,08 hektare.
“Selain itu tanah Papua dan Maluku merupakan pusat masyarakat adat terbesar di Indonesia dimana segala budaya dan praktik-praktik baik menjaga hutan lahir,” kata Pendiri sekaligus CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar saat mengelar seminar di salah satu hotel di kawasan Jakarta Pusat, Selasa 28 Januari 2020.
Mengusung visi kedaulatan masyarakat untuk pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan, yayasan tersebut mengajak para pemangku kepentingan baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah untuk mengelola hutan secara transparan dan akuntabel, berbasis penguatan masyarakat lokal.
Bustar mengatakan, selama kurun waktu dua tahun, Yayasan EcoNusa telah mempromosikan pembelajaran dan praktek-praktek terbaik yang dilakukan LSM lokal dan masyarakat ke tingkat nasional hingga internasional tentang pengelolaan sumber daya alam.
Selain itu Yayasan EcoNusa juga mengorganisir kaum muda, khususnya di kawasan perkotaan untuk mendukung gerakan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan melalui Sekolah EcoDiplomacy (SED) yang didirikan sejak tahun 2018.
Sekolah itu telah memiliki lebih dari 47 alumni yang diberi pelatihan serta pengenalan arti pentingnya hutan bagi manusia.
“Pemuda merupakan kunci dari pembangunan yang berkelanjutan. Mereka memiliki peran besar untuk mencapai perubahan serta mempertahankan hutan mereka,” tuturnya Bustar
Saat ini, Yayasan EcoNusa juga telah bekerja dengan beberapa kabupaten di Papua dan Papua Barat, seperti Kabupaten Kaimana dalam membantu memfasilitasi dan meningkatkan kapasitas masyakarakat dan mitra LSM lokal dalam praktik-praktik pengolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang berkelanjutan.
“Tingginya komitmen Yayasan EcoNusa membantu Kabupaten Kaimana dalam memperkuat kapasitas masyarakat lokal mengola SDA merupakan langkah awal membantu Kaimana menjadi kawasan konservasi yang berdaya,” kata Bupati Kabupaten Kaimana, Matias Mairuma seusai acara tersebut.
Mengoptimalkan Mangrove
Sejalan dengan upaya konservasi, Yayasan EcoNusa di akhir tahun 2019 juga telah mengadakan ekpedisi Mangrove di sepanjang pesisir selatan Papua Barat.
Adapun tujuannya ialah untuk mengidentifikasi kawasan Mangrove dan potensi sosial ekonomi bagi masyarakat lokal, serta survey vegatsi dan keanekaragaman hayati yang ada dikawasan tersebut. Pada ekspedisi ini Yayasan EcoNusa bekerjasama dengan Peneliti Universitas Papua, Jimmy Wanma.
Seminar EcoNusa
“Ekspedisi Mangrove ini menjadi awal yang baik untuk melihat secara dekat peran hutan Mangrove dalam menjaga kawasan hutan serta melihat interaksi kenbutuhan masyarakat pesisir pada ekosistem Mangrove,” ucap Jimmy
Ekpedisi Mangrove 2019 menempuh jarak lebih dari 1000 kilo meter dengan total luas area Mangrove yang diteliti sebanyak 419,8 hektar. Selain itu EcoNusa juga membangun gerakan kelautan bersama untuk perbaikan tata kelola dan praktik pengelolaan sumber daya laut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Untuk diketahui, Yayasan EcoNusa didirikan pada tahun 2017 silam yang diprakarsai oleh Bustar Maitar, seorang tokoh penggiat lingkungan yang lahir dan besar di Papua.
Ini mengapa Yayasan EcoNusa menjadikan Indonesia Timur sebagai pusat kegiatan yang meliputi Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara. Selain seminar, kegiatan tersebut juga diisi dengan pameran sejumlah karya fotografi.