WartaTani.co – Krisis lingkungan dan sumber daya alam (SDA) menjadi salah satu masalah yang tengah dihadapi Indonesia. Pangkal persoalannya lantaran terjadinya krisis tata kelola (governance). Hal ini bermakna bahwa krisis lingkungan dan SDA adalah kegagalan mengatur tindakan para aktor yang berkepentingan terhadap sumber daya.
Oleh karena itu diperlukan perbaikan tata kelola dengan dua perspektif baru, modernisasi ekologi (ecological modernization) dan ekologi-politik (political ecology). Tujuannya untuk membedah, mengurai, memahami sumber masalahnya, serta memberikan tawaran solusi.
Hal tersebut merupakan poin utama Orasi Guru Besar IPB University, Arif Satria, dengan tajuk ‘Modernisasi Ekologi dan Ekologi Politik: Perspektif Baru Analisis Tata Kelola’ di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (11/7).
Arif memaparkan bahwa modernisasi ekologi merupakan upaya adaptasi ulang masyarakat industri terhadap lingkungan hidupnya, dengan menggunakan ilmu pengetahuan modern dan teknologi maju, untuk daya dukung alam dan pembangunan berkelanjutan. Menurutnya, modernisasi ekologi menggarisbawahi bahwa rasionalitas ekologi diperlukan untuk mengimbangi rasionalitas ekonomi.
“Sehingga kegiatan produksi dan konsumsi dapat memberikan manfaat bagi ekonomi dan sekaligus ekologi,” ujar dia.
Arif, yang notabene Rektor IPB Univeristy ini menjelaskan, asumsi utama modernisasi ekologi adalah pertumbuhan ekonomi dapat direkonsiliasikan dengan kelestarian ekologis, dan bertumpu pada tiga strategi. Pertama ekologisasi produksi, seperti produksi bersih tanpa limbah yang merusak, perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk pro-ekologis, dan menghijaukan (greening) nilai sosial dan korporat beserta prakteknya.
“Ragam gerakan sosial seperti car free day, kampanye earth hour, gerakan anti kantong plastik, penggunaan tumbler, adalah contohnya. Ada juga contoh menarik di sebuah kabupaten yang membuat tradisi baru dalam upacara pernikahan yang mewajibkan pemberian mahar berupa bibit pohon yang harus tanam. Inilah contoh upacara pernikahan yang ‘green’,” ungkap Arif.
Adapun ekologi politik punya aspek tak kalah penting dalan konteks pengelolaan lingkungan. Seperti dipaparkan Arif, asumsi pokoknya bahwa perubahan lingkungan tidaklah bersifat netral dan teknis, melainkan merupakan bentuk politicized environment.
“Dengan kata lain persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi dimana masalah itu muncul yang melibatkan aktor-aktor pada tingkat lokal, regional, maupun global,” tambah dia.
Arif menilai modernisasi ekologi mengusung pendekatan negara dan pasar, namun keduanya juga banyak kelemahan. Sementara ekologi politik mencoba mengangkat peran masyarakat, namun ternyata juga banyak keterbatasan. Ketidakadilan dalam hubungan negara-masyarakat atau pasar-masyarakat telah banyak ditemukan.
Pendekatan serba negara, pendekatan pasar secara murni, dan pendekatan self-governance masyarakat tidak menjamin terciptanya keberlanjutan dan keadilan.
“Karena itu perlu tata kelola baru yang memadukan antara pendekatan modernisasi ekologi dan ekologi politik dengan sejumlah prinsip yang patut dijadikan kerangka baru, yaitu basis normatif, saintifik-teknokratik, dan basis regulatif,” pungkasnya.(*)