WartaTani.co – Organisasi lingkungan di Kalimantan Selatan mendesak pemerintahan periode kedua Joko Widodo dapat menuntaskan konflik agraria yang hingga kini banyak belum terselesaikan.
Organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Pena Hijau Indonesia menyebut ada puluhan konflik agraria di Kalsel yang sudah berlangsung lama dan hingga kini belum terselesaikan.
“Walhi mencatat ada puluhan kasus konflik agraria terjadi di Kalsel. Konflik-konflik yang menempatkan rakyat berhadapan dengan korporasi dan melibatkan pemerintah, tak pernah terselasaikan dengan baik,” tutur Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, Minggu, 17 November 2019.
Menurut Kisworo konflik agraria yang terjadi di Kalsel menjadi sorotan sejumlah organisasi lingkungan dan mendesak pemerintahan periode kedua Joko Widodo maupun pemerintah daerah untuk menuntaskannya. Konflik-konflik agraria ini dipicu adanya ketimpangan kepemilikan tanah, upaya penguasaan tabah serta pengelolaan sumber daya alam.
“Konflik agraria menjadi persoalan yang belum terselesaikan bahkan terus meningkat baik jumlah kasus, masyarakat yang terdampak maupun luas area berkonflik,” tambahnya.
Walhi Kalsel terus mendesak agar negara segera mengakui Wilayah Kelola Rakyat dan segera membentuk Tim/Satgas Khusus untuk penanganan konflik SDA, lingkungan dan agraria. Dalam 10 tahun terakhir Walhi mencatat ada 30 konflik SDA, agraria dan lingkungan hidup. Konflik terjadi merata di 13 kabupaten/kota di Kalsel.
Beberapa konflik antara lain konflik dipicu pertambangan batubara dan perkebunan sawit, seperti di Kabupaten Tabalong, yakni dua konflik tambang PT Adaro Indonesia dan konflik terkait perkebunan awit PT CPN. Terakhir yang masih hangat adalah konflik agraria terkait perkebunan sawit di Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru.
Lebih jauh dikatakan Kisworo konflik terjadi dengan pola, pelaku, dan korban yang sama dan terus berulang. Bahkan, Walhi Kalsel mencatat sekitar 90 persen pelaku yang terlibat konflik adalah perusahaan besar swasta, sisanya aparat, dan pemerintah.
Pemerintah adalah aktor utama pemberi izin bagi perusahaan secara nyata telah melemahkan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat. Padahal, wilayah yang sejak lama telah dikelola dan menopang hidup masyarakat seketika menjadi terancam dan menuju kehancuran kala izin berada pada tahapan operasi dan produksi.
Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Hanif Faisol Nurofiq mengatakan salah satu solusi penyelesaian konflik yang ditawarkan oleh pemerintah adalah reformasi agraria. Ada 12,7 juta hektar kawasan hutan yang diberikan akses legal kepada masyarakat, dan ada 9 juta hektar tanah negara.
Namun di Kalsel sebagian masih tumpang tindih dengan izin konsesi perusahaan. Ada 38.643 hektar alokasi perhutanan sosial yang tumpang tindih dengan izin pertambangan dan 38.924 hektar area perhutanan sosial dalam izin perkebunan. (lamppost.co)