Plastik dan Ecosophy (Bagian-1)

  • Bagikan
sampah plastik
ocean.si.edu/Bangkai burung laut yang ditemukan di Midway Atoll Pasifik

*Oleh: M. Asyief Khasan Budiman

(Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB)

Belakangan kampanye tentang pengurangan penggunaan plastik sangat masive. Gerakan ini secara sistematis telah menyumbang pada penyadaran masyarakat tentang bahaya penggunaan plastik secara berlebihan. Bahkan berbagai macam kebijakan telah diterapkan oleh pemerintah seperti kebijakan pengurangan penggunaan botol plastik minuman kemasan di beberapa kantor pemerintah dan perusahaan swasta, kampanye bangga menggunakan tumbler sebagai pengganti botol plastik, kampanye pengurangan kantong plastik.

Bahkan di Kota Bogor pun sampai keluar kebijakan tentang pengurangan penggunaan kantong plastik pada pusat perbelanjaan modern atau biasa dikenal dengan program BOTAK (Bogor Tanpa Kantong Plastik). Pada kampanye ini kita diingatkan mengenai bagaimana polusi plastik telah mengancam kehidupan di dunia. Berbagai macam kerugian yang didapatkan oleh dunia. Polusi plastik ini sekiranya telah mencemari daratan dan perairan. Bahkan di negara kita Indonesia merupakan salah satu dari lima negara penyumbang polusi plastik terbesar di lautan (ke 2 terbesar setelah Tiongkok).

Pada kasus di lautan, polusi plastik ini akan sangat mengganggu pelayaran-pelayaran untuk nelayan. Hal ini karena plastik yang mengapung di perairan dapat membelit di perahu-perahu motor milik nelayan. Selain itu plastik ini juga bisa mencemari sebagian terumbu karang yang bisa mematikan kehidupan di dalamnya. Plastik juga telah menjadi momok dalam hal perlindungan penyu dan satwa lain di lautan. Plastik ini bisa menjadi pemicu kematian bagi satwa di lautan. Selain itu plastik juga kerap termakan oleh burung-burung pantai yang secara tidak sengaja memakan plastik-plastik tersebut. Akibat dari termakan tersebut burung tidak mampu untuk mencernanya dan mengakibatkan berbagai macam penyakit dalam yang berujung pada kematian.

Mungkin bagi sebagian kita menganggap jika kiranya tidak menggunakan plastik sama sekali, maka sama saja kita hidup di alam abad pertengahan atau sebelumnya dimana plastik belumlah ditemukan. Tetapi penulis menyoroti persoalan plastik ialah dari bagaimana paradigma/pandangan kita dalam menggunakannya. Apakah kita sudah bijak dalam menggunakannya, ataukah kita masih serampangan? Bijak di sini penulis terjemahkan ialah dalam hal penggunaannya.

Apakah kita masih senang membuang sampah plastik sembarangan di jalan-jalan atau di sungai-sungai atau bahkan di lautan? Apakah kita belum membiasakan diri untuk mengurangi penggunaan kantong plastik kita dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari. Tentunya sebagai masyarakat hal tersebutlah yang bisa kita pikirkan bersama dan juga untuk dilaksanakan dalam persoalan plastik.

Paradigma Lingkungan Hidup

Sedikit berpendapat dalam masa modern atau bahkan sudah masuk pada era postmodern seperti sekarang ini, plastik sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagaimana contohnya kita makan dan minum sering menggunakan plastik untuk membungkusnya, kita berkendara pun kendaraan yang kita gunakan tentunya ada unsur-unsur plastik yang digunakan. Jadi sangat naif bila kita berkampanye tentang “zero plastic”. Bila kita lebih mendalam lagi letak dari bijak atau tidaknya kita dalam menjaga lingkungan ini ialah ada pada cara pandang kita terhadap lingkungan atau paradigma lingkungan kita.

Berita Terkait  Budhy Setiawan Soroti Masalah Tata Ruang Hingga Pengelolaan Sampah Kota Bogor

Sering kali kita terjebak pada dogma-dogma yang didengungkan oleh pegiat kampanye lingkungan yang buta akan dunia modern ini. Sering pula kita mendengar jargon-jargon “manusia membutuhkan alam, sementara alam tidak butuh manusia”. Bagi penulis, jargon tersebut ialah suatu kekeliruan dalam berpikir yang cukup berbahaya bila tidak benar-benar memahami pemaknaannya. Hematnya jargon tersebut merupakan jargon yang sangat naif bila kita telusuri lebih jauh lagi. Bila alam tidak membutuhkan manusia, maka apakah keberadaan manusia di bumi ini haruslah dimusnahkan secara keseluruhan? Tentunya tidak.

Justru penulis memandang lingkungan hidup masih bisa bertahan hingga detik ini juga merupakan hasil kerja keras dari pegiat dan pekerja lingkungan yang tentunya merupakan bagian dari populasi manusia yang menghuni muka bumi ini. Selanjutnya perkembangan kebudayaan dan perkembangan pengelolaan sumberdaya alam yang ada di sekitar kita ini pun ialah salah satu bentuk dari sikap manusia terhadap alam. Berbagai macam pengetahuan dan kearifan yang digaungkan oleh masyarakat tradisional dan adat ataupun melalui pemuka agama-agama, tak lepas dari posisi kunci subjek pengelolaan sumberdaya alam kita. Tentu jawabannya ialah manusia yang menjadi subjek sekaligus objeknya.

Manusia diberkahi oleh Tuhan berupa akal pikiran yang tidak lain ialah guna memberikan pengaturan untuk kebaikan bagi seluruh alam. Kebaikan ini bukan semata hanya untuk dinikmati oleh manusia saja. Akan sangat egois dan culas sekali bila kita memandang seluruh alam beserta isinya ini disediakan hanya untuk manusia. Bagi penulis celakalah yang memandang hal tersebut, karena muara dari pandangan tersebut akan sangat berbahaya. Manusia lebih rentan untuk terjerumus dalam keserakahan dan ketamakan guna menghisap sebanyak-banyaknya manfaat dari alam untuk kepentingan manusia saja (jebakan keserakahan kapitalisme).

Paradigma dalam memandang persoalan lingkungan hidup nyata-nyata lebih kompleks dari hanya sekedar “alam harus ditaklukkan guna kepentingan manusia” atau pandangan antroposentris. Pandangan ini berkembang pesat di era-era abad awal dan pertengahan, terutama setelah seluruh dunia terkoneksi melalui jalur-jalur perdagangan dan komunikasi instan (telegram).

Pandangan yang berporos pada manusia sebagai “penguasa” di alam raya ini menghasilkan eksplorasi-eksplorasi dan eksploitasi seluruh sumberdaya yang ada di bumi ini. Parahnya lagi, pandangan ini pun ikut mengantarkan pada penaklukan-penaklukan antar bangsa yang menghasilkan perang-perang di masa lampau.

Selain itu pandangan ini juga harus turut andil dalam penjajahan-penjajahan suatu bangsa ke bangsa yang lainnya. Pada ingatan kita mungkin masih bisa sedikit mengulang pelajaran sejarah yakni sebagai bangsa di bumi nusantara ini, kita pernah menjadi korban dari penjajahan bangsa eropa (terutama Belanda, Inggris, dan Portugis).

Kemudian dalam melawan pandangan antroposentris tersebut mucul suatu pandangan baru lingkungan hidup untuk meng-antitesakan pandangan lawas tersebut. Pandangan ini menekanan pada konsep lingkungan sebagai pusat semesta, atau biasa disebut biosentris. Pandangan ini menganggap bahwasanya manusia bisa jadi memiliki kedudukan yang lebih rendah dari alam raya ini. Hal ini bagi penulis menjadi hal yang sama berbahayanya dengan pandangan antroposentris.

Berita Terkait  Hasil Penelitian, Pestisida Nabati Efektif Atasi Serangan Antraknosa Pada Cabai

Pandangan biosentris ini bisa berakibat pada penghargaan yang rendah antara suatu manusia kepada manusia lain dengan dalih penghargaan terhadap alam. Paradigma ini di Indonesia memang mulai berkembang pasca orde lama. Pandangan biosentris yang merupakan hasil di-impor dari pengetahuan luar negeri dan diekstrak menjadi kebijakan-kebijakan dalam negeri yang bernafaskan perlindungan terhadap alam.

Pandangan ini sangat baik dalam mempertahankan alam ini agar terjaga, di sisi lain masyarakat yang sudah dari nenek moyang mereka dan memiliki adat dan tradisi beserta kearifannya hanya dianggap hama oleh pembuat kebijakan. Hasilnya, tentu adanya konflik kepentingan kekuasaan dan akses antara pemerintah dengan masyarakat lokal dengan dalih menjaga alam.

Sebagaimana contoh penunjukkan kawasan hutan yang dilakukan di era orde baru. Penunjukkan sepihak oleh pemerintah yang mendapat warisan aturan-aturan hukum dari Hindia Belanda ini tak memperdulikan keberadaan masyarakat adat yang turun-temurun tinggal di dalam hutan dengan berbagai macam kearifan budayanya. Sering pula dijumpai penangkapan-penangkapan sepihak masyarakat adat di era orde baru yang dituding merusak hutan atau merusak alam.

Padahal nyata-nyata masyarakat tersebut hanya mengikuti aturan-aturan adat yang berlaku di wilayah adatnya. Masyarakat hanya sedikit mengambil manfaat dari hutan untuk dijadikan bahan pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka. Sialnya, petugas negara yang kala itumemang sedang berjaya-jayanya dalam menggunakan otoritasnya secara sepihak menuduhkan pasal-pasal pengrusakan hutan kepada mereka yang tak mau berkomporomi.

Namun dari tesis antroposentris dan biosentris ini menjadi sebuah perdebatan sengit antara mana yang lebih didahulukan yaitu manusia atau alam.Sebagai sebuah sintesa dari kedua pandangan yang seolah saling berseberangan tersebut, kemudian muncul cara pandang yang lebih baru lagi yakni ecosentris atau deep ecology.

Paradigma ini memuat bagaimana keseimbangan antara alam dengan manusia, di mana manusia dan alam merupakan sesama komponen penyusun sistem kehidupan. Letak manusia dan alam tidaklah menjadi bagian yang terpisahkan, akan tetapi sama-sama menjadi bagian yang memiliki timbal balik baik positif maupun negatif antar keduanya. Jadi pada cara pandang ini secara mekanistik dapat dimaknai sebagai pemahaman ekologi secara mendalam.

Paradigma baru ini memuat kesejajaran antara manusia dan alam. Posisi manusia dengan alam sejajar dan saling melengkapi. Manusia dengan alam pun menjadi sebuah sistem yang tak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Manusia memiliki peran sentral dalam pengelolaan alam, di sisi lain alam pun memiliki perannya masing-masing yang juga akan berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri. Sehingga manusia dan alam tidak bisa terpisahkan dan diposisikan berbeda. Manusia secara otomatis bagian dari alam, sebaliknya alam pun secara otomatis terpengaruh secara nyata dari keberadaan manusia. Baik itu positif maupun negatif.

Pemaknaan ecosophy

Perlahan namun pasti, pandangan ecosentris ini lebih diterima oleh khalayak publik baik dari kalangan akademisi, pejabat-pejabat strukural negara, maupun masyarakat umum. Hanya saja persoalanya pandangan ini pun lagi-lagi mengalami kebuntuan dalam tahap implementasi aksinya. Pasalnya, di lapangan kerap terjadi bentrok kepentingan antara kebijakan dan aturan negara dengan adat budaya masyarakat. Hal ini tentunya sangat menghambat pembangunan dan juga pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

Berita Terkait  Mentan: Korporasi Petani Jadi Prioritas

Persoalan-persoalan yang ada di lapangan setelah dipelajari lebih lanjut memang bukanlah perkara yang sederhana. Dimensi persoalannya selain pada persoalan ekonomi, sosial, dan ekologi tetapi juga melebar hingga persoalan spiritual dan kebudayaan. Salah satu dampak dari adanya pendekatan teknis-mekanistik pengambil kebijakan ialah terkadang kebijakan yang dilakukan justru menihilkan unsur sosial-budaya-spiritual sebagai arus utamanya. Masyarakat dipandang sebagai objek dalam pengelolaan lingkungan hidup, bukan sebagai subjek yang semestinya pelaku utama di tingkat lapangan.

Belakangan muncul paradigma yang lebih segar dari sebelum-sebelumnya. Paradigma ini ialah kelanjutan dari pandangan ecosentris atau deep ecology. Pandangan yang disebut sebagai Ecosophy ini mengusung tentang bagaimana sisi spiritual dan sosial budaya juga menjadi point of interest dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pendekatan-pendekatan teknis-mekanistik yang kadang menjadi jebakan tersendiri di lapangan harapannya akan lebih banyak dihindari. Bentrokan antara aturan negara dengan aturan adat atau agama yang sering menjadi polemik persoalan di lapangan harapannya menjadi hal yang bisa ditiadakan. Paradigma ecosophy ini juga memuat bagaimana hubungan antara personal – intra personal, baik secara materi maupun immateri. Sehingga sisi ruhaniah yang terdapat dalam diri manusia dapat terangkat dengan sendirinya yang dimanifestasikan dalam tindakannya terhadap segala yang ada di dunia ini.

Ecosophy ini memang didasarkan pada pemikiran keseimbangan antara manusia dengan alam. Paradigma ini menterjemahkan manusia dengan alam merupakan sebuah satu kesatuan yang satu dengan lainnya saling memiliki ketergantungan dengan semangat ruh suci yang terkandung pada jiwa manusia dan alam di sekitarnya. Faktor pembeda antara ecosophy dengan ecosentris ialah pada sisi spiritualitasnya. Bila pendekatan dalam ecosentris pada sisi teknis-mekanistik, pada ecosophy lebih menggunakan pendekatan spiritual-budaya.

Pada sisi praktis pendekatan ecosophy terbukti lebih menyentuh masyarakat yang diposisikan sebagai aktor utama dalam tiap kebijakan pembangunan. Energi sosial budaya masyarakat yang mengendap dan berpotensi untuk menjadi pemantik percepatan pembangunan di suatu wilayah dapat lebih dimunculkan. Oleh karena itu ecosophy dianggap paling dinamis untuk merasuk dalam struktur sosial budaya di dalam masyarakat. Paradigma ini dapat merasuk melalui tetua – tetua adat atau tokoh – tokoh masyarakat yang dianggap mumpuni dalam sebuah masyarakat.

Selain itu juga dapat merasuk pada kaum muda yang memiliki pemikiran dinamis dan berani untuk mendobrak pemikiran – pemikiran tua yang sudah tidak relevan dengan keadaan. Akhirnya pandangan ini pun sama – sama bertumpu pada ruh spiritualitas seseorang yang kemudian menyebar kepada sebuah kelompok masyarakat tanpa meninggalkan nilai – nilai luhur pada sebuah peradaban.(Bersambung)

  • Bagikan